Bagaimana
Berusaha Menjadi Orang Sportif? Sementara sekarang Bobotoh menuntut
Persib menang terus. “Kalau harus menang terus mah atuh Persib juara
dunia”, kata Pak Ateng Wahyudi, mantan Ketua Umum Persib dan Walikota
Bandung.
Adakah sejarah pertandingan sepakbola di Indonesia
yang sangat bermutu tinggi? Pertandingan yang sekaligus menguras emosi
penonton tetapi semua pihak yang terlibat tetap menjunjung tinggi
sportifitas, sehingga tak terjadi kerusuhan?
Ada. Tetapi
sangat langka. Dan yang langka itu adalah "Final Persib vs PSMS 1985".
Saya yakin ini merupakan pertandingan sangat heroik dalam sejarah
sepakbola Indonesia setelah partai berkelas dunia kesebelasan nasional
Indonesia melawan Uni Soviet di Olimpiade Melbourne 1 Desember 1956,
dimana Indonesia berhasil menahan Uni Soviet dengan 0-0. Kemudian
pertandingan Pra Olimpiade Montreal tahun 1976, dimana kesebelasan
nasional Indonesia harus tersingkir oleh Korea Utara lewat adu penalti.
Mengapa dipilih pertandingan "Final Persib vs PSMS 1985"? Karena alasan
sebagai berikut:
Pertama; Bagaimana Persib yang sudah
ketinggalan 0-2 dari PSMS di babak pertama, dapat menyamakan kedudukan
2-2 melalui penalti Iwan Sunarya. Dan gol kelas dunia Ajat Sudrajat
melalui sundulan kepala yang sangat indah dari sedikit saja dari luar
kotak penalti PSMS, menyambut tendangan sudut Iwan Sunarya. Sundulan
Ajat yang cukup jauh jaraknya untuk ukuran sebuah gol dengan kepala ini
menerpa mistar bagian dalam PSMS Medan. Sehingga kiper hebat Ponirin
Mekka sampai bengong tak bereaksi. Soetjipto "Gareng" Soentoro, bintang
PSSI di era 1960-an dan awal 1970-an yang jadi komentator melalui RRI
Jakarta ketika itu, menyebutnya sebagai gol spektakuler yang berkelas
dunia. Mirip golnya Paul Mariner di English League, goal getter timnas
Inggris tahun 1970an.
Kedua; Dari segi penonton benar-benar
rekor dunia pula. Bayangkan stadion Senayan yang dalam keadaan normal
berkapasitas 110.000 orang ketika itu (belum direnovasi seperti sekarang
yang kapasitasnya menjadi 88.000 kursi) dipaksakan melampaui
kapasitasnya. Baru dalam sejarah Senayan penonton dibolehkan nonton
sampai luber ke pinggir lapangan, tempat biasanya para anak gawang
memungut bola out. Menurut buku Asian Football Confederation (AFC)
terbitan 1987, pertandingan ditonton oleh 150.000 orang yang merupakan
pertandingan terbesar dalam sejarah pertandingan amatir di dunia (waktu
itu masih kejuaraan Perserikatan, bukan Liga Super Indonesia seperti
sekarang ini).
Ketiga; Meskipun penontonnya demikian banyak,
kedua suporter tak saling bentrok sepanjang pertandingan berlangsung.
Dan ternyata para suporter Persib khususnya tetap sportif menerima
kekalahan dari PSMS untuk kedua kalinya pada final melalui adu penalti
setelah pertandingan diperpanjang 2x15 menit skor tetap 2-2. Ya Persib
kalah untuk kedua kalinya karena tahun 1983 Persib kalah juga dari PSMS
melalui adu penalti setelah perpanjangan waktu. Pasca pertandingan tak
terjadi kerusuhan sedikit pun. Padahal kerusuhan menjadi kejadian biasa
belakangan ini bahkan eksesnya merembet sampai ke luar lapangan sehingga
menjadi liar dan memakan korban jiwa dan harta benda. Bobotoh Persib
pulang ke Jawa Barat (Banten masih masuk Jawa Barat) dan juga bobotoh
yang tinggal di Jabotabek, dengan hati sangat sedih. Tetapi mereka tetap
lapang dada. Mengapa? Karena Ajat Sudrajat dan kawan-kawan kalah sangat
terhormat setelah berjuang sampai keringat terakhir tak menetes lagi.
Atau dalam kata-kata mantan kapten tim nasional Ronny Patinasarani
"Persib menang teknik dalam pertandingan final ini tetapi kalah mental
dibanding PSMS". Luar biasa.
Keempat; Pasca pertandingan
Persib-PSMS ini perseteruan di lapangan berlanjut ke persahabatan di
luar lapangan. Pemain-pemain Persib diundang untuk memperkuat PSMS
memenuhi undangan Singapura untuk turnamen Piala Merlion. Maka Ajat
Sudrajat, Kosasih, Robby Darwis, Sukowiyono dan Iwan Sunarya beberapa
minggu mencicipi latihan bersama Ponirin dan kapten Sunardi A dkk di
stadion Teladan, Medan. Penonton Medan mengelu-ngelukan Ajat Sudrajat
sebagai "Soetjipto Soentoro Baru".
Pertandingan ini sangat
sarat dengan pelajaran berharga bagaimana sebuah sportifitas sebaiknya
dikembangkan secara baik dan dewasa; penuh kekeluargaan seperti ciri
budaya Bangsa Indonesia ketika itu. Sekarang di Bandung; banyak bobotoh
Persib sudah juga anarkis meniru “koleganya” Bonek Persebaya Surabaya
dan Jakmania Persija. Kalau dulu teriakan bobotoh “Persib Butut...
Persib Butut” merupakan kritik mujarab membalikkan keadaan di lapangan
menjadi Persib yang hebring lagi. Maka sekarang sudah berubah; “Persib
Butut, Bobotoh Juga Butut”. Bobotoh menuntut Persib menang terus. “Kalau
harus menang terus mah atuh Persib juara dunia”, kata Pak Ateng
Wahyudi, mantan Ketua Umum Persib dan Walikota Bandung. Dunia memang
sudah berubah, sehingga perilaku suporter juga berubah? Perlu penelitian
para ahli psikologi massa dari Unpad atau UI barangkali.
SEMENTARA itu. Bumbu lain setelah pertandingan Persib vs PSMS 1985 ini,
Ajat "dibawa kabur" oleh seorang selebritis ke sebuah hotel berbintang.
Konon katanya mau "dikasih hadiah". Entah hadiah kecupan mesra atau apa.
Yang benar menurut pengakuan Ajat kepada saya ketika menulis
biografinya (Muhamad Kusnaeni dan Cardiyan HIS, "Intinya Pemain Inti
untuk PSSI", Penerbit Gemadinamika Mediatama, Jakarta 1987):
"Ah, Kang, saya mah cuma nonton film Kungfu di bioskop hotel Kartika
Chandra bersama Hetty Kus Endang". Hetty yang masih jomlo ketika itu;
malah "nyengir" ketika dicegat wartawan; "Ah enggak, saya mah ngan
ngajak Ajat nonton pelem supaya melupakan kekalahan maen bola. Paling
rencana kedepan saya dengan Ajat mau berduet nyanyi untuk rekaman tahun
ini .....".
Hidup Persib.
Meunang maok ti blog ITB, artikel iyeu hasil karya kang Cardiyan HIS.