Jumat, 14 Desember 2012

Ultras

Ultras diambil dari bahasa latin yang mengandung artian ‘di luar kebiasaan’. Kalangan ultras tidak pernah berhenti menyanyi mendengungkan yel-yel lagu kebangsaan tim mereka selama pertandingan berlangsung. Mereka juga rela berdiri sepanjang pertandingan berlangsung (karena negara-negara yang terkenal dengan ultras nya seperti Argentina dan Italia, menyediakan tribun berdiri di dalam salah satu sudut stadion mereka). Selain itu pun para ultras paling senang menyalakan kembang api atau petasan di dalam stadion karena hal itu didorong untuk mencari perhatian, bahwa mereka hadir di dalam kerumunan manusia di dalam stadion.

“As an ultra I identify myself with a particular way of life. We are different from ordinary supporters because of our enthusiasm and excitement. This means, obviously, rejoicing and suffering much more acutely than everybody else “.

Nukilan kalimat dari seorang anggota Brigate Rossonere, salah satu ultras AC Milan, membantu kita untuk mengenali fenomena ultras. Ultras bukanlah sekadar kumpulan suporter (tifosi) biasa melainkan kelompok suporter fanatik nan militan yang mengidentifikasikan secara sungguh-sungguh dengan segenap hasrat dan melibatkan dengan amat dalam sisi emosionalnya pada klub yang mereka dukung.

Ultras mempelopori suporter yang amat terorganisir (highly organized) dengan gaya dukung 'teatrikal' yang kemudian menjalar ke negara-negara lain. Model tersebut sekarang telah begitu mendominasi di Pran...cis, dan bisa dibilang telah memberi pengaruh pada suporter Denmark 'Roligans', beberapa kelompok suporter tim nasional Belanda dan bahkan suporter Skotlandia 'Tartan Army'.
Model tersebut masyhur karena menampilkan pertunjukan-pertunjukan spektakuler meliputi kostum yang terkoordinir, kibaran aneka bendera, spanduk & panji raksasa, pertunjukan bom asap warna-warni, nyala kembang api (flares) dan bahkan sinar laser serta koor lagu dan nyanyian hasil koreografi, dipimpin oleh seorang CapoTifoso yang menggunakan megaphones untuk memandu selama jalannya pertandingan.
Dalam tradisi calcio, ultras adalah "baron" dalam stadion. Mereka menempati dan menguasai salah satu sisi tribun stadion, biasanya di belakang gawang, yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva. Ultras tersebut menempati salah satu curva itu, baik nord (utara) atau sud (selatan), secara konsisten hingga bertahun-tahun kemudian. Utras dari klub-klub yang berbeda ditempatkan pada curva yang saling berseberangan. Selain itu, berlaku aturan main yang unik yaitu polisi tidak diperkenankan berada di kedua sisi curva itu.

Kelompok Ultras yang pertama lahir adalah (Alm.) Fossa dei Leoni, salah satu kelompok suporter klub AC Milan, pada tahun 1968. Setahun kemudian pendukung klub sekota sekaligus rival, Internazionale Milan, membuat tandingan yaitu Inter Club Fossati yang kemudian berubah nama menjadi Boys S.A.N (Squadre d'Azione Nerazzurra). Fenomena ultras sempat surut dan muncul lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi megahnya pada pertengahan tahun 1980-an.

Fenomena ultras sendiri diilhami dari demontrasi-demontrasi yang dilakukan anak-anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda Italia di akhir 1960-an. Alhasil, sejatinya ultras adalah simpati politik dan representasi ideologis. Setiap ultra memiliki basis ideologi dan aliran politik yang beragam, meski mereka mendukung klub yang sama. Ultras memiliki andil "melestarikan" paham-paham tua seperti facism, dan komunism socialism.
Mayoritas ketegangan antar suporter disebabkan oleh perbedaan pilihan ideologis daripada perbedaan klub kesayangan. Untungnya, dalam tradisi Ultras di Italia terdapat kode etik yang namanya Ultras codex. Salah satu fungsi kode etik itu "mengatur" pertempuran antar ultras tersebut bisa berlangsung lebih fair dan "berbudaya". Salah satu etika itu adalah dalam hal bukti kemenangan, maka bendera dari ultras yang kalah akan diambil oleh ultras pemenang. Kode etik lainnya ialah, seburuk apapun para tifosi itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk lapor polisi.

Dewasa ini, ultras kerap dipandang sebagai lanjutan atau warisan dari periode ketidakpastian dan kekerasan politik 1960-an hingga 1970-an. Berbagai kesamaan pada tindak tanduk mereka disebut sebagai bukti dari sangkut paut ini. Kesamaan-kesamaan itu tampak pada nyanyian lagu - yang umumnya digubah dari lagulagu komunis tradisional - lambaian bendera dan panji, kesetiaan sepenuh hati pada kelompok dan perubahan sekutu dengan ultras lainnya, dan, tentunya, keikutsertaan dalam kekacauan dan kekerasan baik antara mereka sendiri dan melawan polisi!

Ultras itu sekelompok supporter tetapi dia sangat fanatik trhadap tim yg di dukung'a.. selalu mengibarkan panji2 kebesaran tim yg mereka dukung.. mereka bukan supporter biasa yg hanya duduk dan diem aja di stadion,. tetapi mereka itu atraktif, selalu menyanyikan lagu2 buat tim'a, membawa bendera besar ke stadion, membawa Red Flare, nampilin banner yg besar di stadion, menampikan Coreography dan satu yg penting.. "MEREKA SELALU BERDIRI SELAMA MENONTON PERTANDINGAN SAMBIL BERNYANYI UNTUK MENDUKUNG TIMNYA.."

mereka tergolong supporter yang ekstrim dlm bertindak (GARIS KERAS).. mereka jg memiliki ideologi politik tersendiri yg di anut, seperti Politik Sayap Kiri atau Sayap Kanan.. yg Sayap Kiri cenderung Ekstrim dlm bertindak, smentara yg Sayap Kanan masih patuh sma aturan, gag terlalu ekstrim klo bertindak..
oia, Ultras itu biasanya memiliki basis tersendiri di Stadion,.
seperti Ultras di Eropa , mereka selalu menetapi Tribun blakang gawang...
maka'a sebutan mereka adalah Curva Sud/ Curva Nord (Sud= Selatan , Nord= Utara).. gag pernah ada sebutan Curva Est dan Curva Covest..
Ultras sendiri punya kode etik di antara Ultras.. yaitu, mereka klo fight itu sifat'a open fight.. untuk merebut Banner/ bendera kebesaran yg jd simbol suatu grup Ultras.. dlm fight tersebut, mereka di larang melibatkan Polisi, karna Polisi itu HARAM.. A.C.A.B (All Cops Are Bastard)
Curva/ Tribun bagi Ultras, POLISI gag boleh masuk ..

Casuals

                                
Casuals merupakan salah satu bagian dari budaya didalam sepak bola, yang identik dengan hooligansime dan pakaian-pakaian mahal bermerek. Sub kultur ini lahir pada akhir dekade 70-an, di Britania Raya, dimana ketika itu banyak para hooligan klub-klub sepak bola, mulai mengenakan pakaian-pakaian mahal untuk menghindari perhatian polisi. Mereka tidak lagi mengenakan atribut-atribut beraroma logo-logo klub kesayangan, agar tidak dikenali, sehingga lebih mudah untuk menyusup kelompok musuh dan untuk masuk kedalam pub.Jenis-jenis musik yang disukai oleh para Casuals pada akhir dekade 70-an adalah Oi!, Mod, dan Ska. Tak heran, karena beberapa Casuals itu merupakan pengikut dari sub kultur skinhead, mod, dan rude boy. Pada era 80-an, selera musik Casuals bersifat eklektik alias campur-campur. Pada akhir dekade 80-an dan 90-an awal, mereka cenderung menyukai scene Madchester (co: The Stone Roses), dan Rave. Dan di era 90-an saat sub kultur alternatif baru yang bernama Britpop, yang digunakan untuk melawan arus Grunge, para Casuals ini pun menjadi penggemar Britpop. Ada pengaruh kuat dari budaya Rave terhadap Casuals, rave sendiri cenderung menyerukan perdamaian, sehingga banyak dari Casuals ini yang mengenakan pakaian-pakaian khas mereka, namun justru menjauhkan diri dari tindak hooliganisme. Kadang-kadang banyak band-band yang bergaya Casuals saat dipanggung dan dalam sesi pemotretan, seperti yang dilakukan Damon Albarn dan kawan-kawan di BLUR dalam video “Parklife” Sejak itu Brutal pop khas BLUR (kadang disebut juga indie rock) telah menjadi jenis musik yang paling disukai oleh Casuals.

SEJARAH

Sejak pertengahan dekade 50-an, para pendukung sepak bola di Inggris sudah mulai terpengaruh dengan gaya berpakaian Teddy Boys, yang tumbuh pada masa itu. Dan asal-usul budaya Casuals sendiri dapat dilihat dalam sub kultur Mod pada awal 60-an. Para pemuda pengikut sub kultur Mod, mulai membawa gaya berpakaiannya ke dalam teras sepak bola. Kemudian pengikut-pengikut sub kultur lain seperti Skinhead juga membawa gaya berpakaiannya kedalam teras sepak bola. Ditandai dengan kebangkitan sub kultur Mod pada akhir 70-an, Casuals mulai tumbuh dan berubah setelah pendukung Liverpool, memperkenalkan merek-merek fashion Eropa yang mereka peroleh saat menemani klub kesayangan mereka melawan klub Perancis, Saint Etienne. Para pendukung Liverpool yang menemani klub kesayangan mereka menjalani laga melawan klub-klub Eropa, pulang ke Inggris dengan membawa pakaian-pakaian bermerek dari Italia dan Perancis, yang mereka jarah dari toko-toko.

Pada saat itu, para polisi masih fokus para pendukung yang bergaya Skinhead, dengan sepatu bot khasnya, Dr. Martens, dan tidak memperhatikan para penggemar yang menggunakan pakaian-pakaian mahal karya desainer-desainer ternama. Para pendukung Liverpool kemudian membawa lagi merek-merek pakaian yang tidak pernah dijumpai sebelumnya di Inggris. Dan para pendukung klub-klub lain pun mulai memburu merek-merek Eropa yang masih langka di Inggris. Adapun para pendukung Liverpool masih identik dengan Lacoste Shirt dan Adidas Training hingga saat ini. Label pakaian yang terkait dengan Casuals pada tahun 1980 meliputi: Edinburgh Woollen Mill, Fruit of the Loom, Fila, Stone Island, Fiorucci, Pepe, Benetton, Sergio Tacchini, Ralph Lauren, Henri Lloyd, Lyle & Scott, Adidas, CP Company, Ben Sherman, Fred Perry, Lacoste, Kappa, Pringle, Burberry dan Slazenger. Trend berpakaian terus berubah dan subkultur Casuals mencapai puncaknya pada akhir 1980-an. Dengan lahirnya scene musik Acid House, Rave and Madchester. Dan kekerasan dalam sub kultur Casuals memudar hingga batas tertentu.

1990s and 2000s

Pada pertengahan 1990-an, sub kultur Casuals mengalami kebangkitan besar, tetapi penekanan pada gaya telah sedikit berubah. Banyak para penggemar sepak bola mengadopsi Casuals tampak sebagai semacam seragam, mengidentifikasi bahwa mereka berbeda dari pendukung klub biasa. Merek seperti Stone Island, Aquascutum, Burberry dan CP company terlihat di hampir setiap klub, serta merek-merek klasik favorit seperti Lacoste, Paul & Shark dan Pharabouth. Pada akhir 1990-an, banyak pendukung sepak bola mulai bergerak menjauh dari merek-merek yang dianggap seragam Casuals, karena polisi mulai memerhatikan tindak tanduk Casuals. Selain itu beberapa desainer juga menarik produk-produk mereka setelah tau bahwa produk-produk mereka di pakai oleh Casuals. Meskipun beberapa Casuals terus memakai pakaian Stone Island di tahun 2000-an, banyak dari mereka yang telah mencopot logo kompas Stone Island sehingga merek pakaian mereka menjadi tidak ketahuan. Namun, dengan dua tombol masih menempel, orang yang tahu masih bisa mengenali pakaian Casuals lainnya. Pada akhir 90-an itu beberapa pasukan polisi mencoba untuk menghubungkan logo kompas Stone Island dengan neo-Nazi versi dari salib Celtic. Karena itu, label pakaian baru mulai memperoleh popularitas di antara Casuals. Seperti halnya produk-produk pakaian dari merek-merek ternama yang laku dipasaran, barang palsu yang murah juga mudah didapat. Prada, Façonnable, Hugo Boss, Fake London Genius, One True Saxon, Maharishi, Mandarina Duck, 6.876, dan Dupe telah mulai mendapatkan popularitas luas.

Casual fashion telah mengalami peningkatan popularitas di tahun 2000-an, setelah beberapa band-band Inggris seperti The Streets dan The Mitchell Brothers menggunakan pakaian kasual olahraga dalam video musik mereka. Budaya Casuals pun telah diangkat ke dalam media visual seperti film-film dan program televisi seperti ID, The Firm, Cass, The Real Football Factory dan Green Street Hooligans 1 & 2. Pada tahun 2000-an, label pakaian yang terkait dengan pakaian Casuals termasuk: Stone Island, Adidas Originals, Lyle & Scott, Fred Perry, Armani, Three stroke, Lambretta, Pharabouth dan Lacoste. Namun menjelang akhir dekade 2000-an banyak Casuals yang menggunakan label-label independen seperti Albam, YMC, APC, Folk, Nudie Jeans, Edwin, Garbstore, Engineered Garments, Wood Wood dan Superga. Namun merek besar seperti Lacoste, Ralph Lauren dan CP Company masih popular di kalangan Casuals 
Sumber : http://ultrasin-indonesia.blogspot.com/p/blog-page_5.html

Rabu, 05 Desember 2012

Catatan Sabtu Kelabu Di Tribun Utara – Fitnah itu Lebih Kejam Dari Pembunuhan!


Sabtu kelabu, 1 Desember 2012. sebuah tanggal yang tentunya tidak akan pernah saya lupakan, tanggal dimana saya betul-betul merasakan bahwa memang benar perkataan guru ngaji saya dahulu, “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”.
Ada sebuah fitnah menyasar pada sore itu di tribun utara stadion siliwangi, Bandung pada laga Inter Island Cup antara Persib melawan Gresik United. Fitnah yang berujung kepada 5 orang luka parah: 2 orang luka berat di kepala, 1 orang patah lengan, 1 orang patah pergelangan tangan dan seorang lagi luka tusuk di paha. Beberapa teman lainnya luka ringan. 3 orang sempat hilang tidak diketahui nasibnya. Menurut kabar yang dihimpun, salah satu diantaranya hilang ketika terpisah dari rombongan  dan dihajar massa secara membabi buta, bahkan diteriaki “Paehan.. Paehan” (Matikan). Astagfirullah, mengerikan.
Di tribun utara sore itu, tempat saya biasa nonton, dari arah sebelah kiri ada beberapa orang yang berkata-kata ke arah rombongan bobotoh lainnya. ia berkata bahwa di rombongan ini ada yang menjelek-jelekan nama organisasinya dengan berkata “f*ck v****g”. Entah mereka mendapat kabar dari mana mengenai persoalan tersebut, namun yang pasti isu sudah kadung menyebar, liar. Saya yakin, tidak ada yang berani berkata demikian. Konyol dan bodoh sekali jika berkata seperti itu. Sungguh sebuah fitnah yang keji.
Sebetulnya pertandingan Persib sore itu berlangsung menarik dan aman-aman saja pada awalnya, hingga datang sebuah provokasi dari pria berbaju putih dengan rompi hitam pada saat jeda babak pertama.
Image

                      Provokator biang kerusuhan Sabtu Kelabu
Kronologis kericuhan saat itu bermula saat sang pria dengan rompi hitam  beradu mulut dengan seorang fotografer lapangan yang sebelumnya menyalami salah satu dari rombongan yang berada di depan. Entah apa yang ia permasalahkan, karena posisi saya agak jauh dari mereka. Posisi saya di tengah, sementara ia persis berada di depan pagar pembatas. Setelah beradu mulut, tidak tahu bagaimana ia melancarkan satu dua pukulan kepada orang  yang duduk di depan. Menyusul salah satu rekannya yang berbadan gendut yang melancarkan tendangan. Belakangan saya tahu yang kena tendangan itu adalah salah satu dari tiga perempuan yang duduk didepan, bersebelahan dengan orang yang dipukul pertama kali. Setelah kejadian itu sudah tidak jelas lagi karena situasi berlangsung chaos hingga mengharuskan beberapa aparat keamanan naik ke tribun.
Selang beberapa menit kemudian, situasi dapat dikendalikan. Semua melanjutkan menonton Persib yang saat itu menang sementara 1-0. Setelah kejadian tersebut, rombongan tempat saya nonton diapit oleh aparat keamanan. Di sebelah kiri oleh kepolisian dan disebelah kanan oleh beberapa anggota TNI. Meskipun sudah ada aparat keamanan, tetapi perasaan saya waktu itu masih cukup was-was, apalagi dengan adanya selentingan kabar “mereka” akan menyerang  setelah pertandingan usai.
Persib akhirnya menang 2-0 malam itu. Setelah pertandingan usai, aparat keamanan yang berada di samping kiri-kanan rombongan pun pergi. Sebagian besar rombongan menunggu sejenak setelah pertandingan usai. Menunggu hingga kondisi tribun utara benar-benar sepi dan aman. Namun apa yang saya khawatirkan akhirnya benar-benar terjadi. Ketika rombongan hendak keluar dari tribun utara melalui pintu sebelah barat, tiba-tiba batu sebesar kepalan tangan orang dewasa berterbangan seperti layaknya hujan. Sebagian besar tertahan di dekat tangga menuju pintu keluar, namun sebagian lagi sudah terjebak diluar dan menjadi bulan-bulanan mereka. Situasi benar-benar kacau saat itu.  Saya tertahan disekitar tangga, ikut menenangkan yang lainnya. Sementara itu sebuah batu bata terbang tepat didepan muka saya dan pecah mengenai tembok.  Batu-batu besar dan botol air mineral beterbangan menghujam kami saat itu. Beberapa mengenai teman-teman bobotoh lain yang ikut terjebak bersama rombongan. Kasihan mereka, tidak tahu apa-apa  tetapi menjadi korban kebrutalan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Sebetulnya masih ada polisi yang sedang apel setelah pertandingan di lapangan Siliwangi. Namun mereka diam saja, baru setelah beberapa dari rombongan bobotoh ini terkena lemparan dan berteriak meminta bantuan, mereka datang mengamankan situasi.  Alih-alih mengamankan, bapak-bapak yang terhormat tersebut malah bertindak represif , seolah-olah aparat tersebut menganggap rombongan ini adalah perusuh sama seperti oknum-oknum diluar stadion yang  pertama kali melakukan pelemparan, beberapa dari aparat tersebut juga memukul dengan pentungan.
Emosi saya bercampur aduk. miris, sedih, dan marah hati ini melihat mereka yang menjadi korban dari oknum bobotoh yang tidak mempunyai hati, dengan tega mereka menyerang, melukai saudaranya sendiri. Padahal bendera kita masih sama, biru! Dan semuanya masih membela dan mendukung tim sepakbola yang sama, yaitu PERSIB!
Akhirnya saya dan teman-teman bisa keluar dari tribun utara, namun situasi diluar stadion masih panas dan sedikit kacau.  Saya sempat terpisah dari orang-orang yang saya kenal, namun berhasil tiba di area tempat kami biasa parkir dengan selamat.  Banyak diantara rombongan saat itu tercecer dibelakang. Saat saya kira situasi di sekitar stadion sudah benar-benar aman, namun seorang teman saya lari dengan tergopoh-gopoh kearah saya. Ia menyebutkan salah satu temannya ditusuk dibagian paha, ia pun terkena pukulan dibeberapa bagian wajahnya. Astagfirullah, saya kaget setengah mati.  Membawa pisau atau benda-benda tajam ke stadion, berati sudah jelas ada niatan dari mereka untuk membunuh atau minimal membuat celaka, membunuh saudaranya sendiri yang sama-sama mendukung PERSIB, for God’s sake!!!
Saya sontak berlari kembali kearah stadion, melihat apakah ada lagi yang menjadi korban. Ternyata cukup banyak, para korban sebagian ditampung di PMI dan sebagian besar korban adalah remaja. Seperti yang sudah saya sebutkan diatas, saya mencatat jumlah korban luka parah keseluruhan ada lima orang, dan puluhan lainnya luka ringan. Tidak semua korban dirawat di PMI, sebagian  besar dirawat seadanya lalu langsung pulang atau pergi ketempat yang dirasa aman terlebih dahulu baru melanjutkan perjalanan.
Minggu pagi, Saya mendengar kabar bahwa sekre Gurame diserang pada Minggu dini hari lalu. Astagfirullah, Saya meyakini itu hanyalah sebuah bentuk provokasi / adu domba yang picik dari orang yang tidak bertanggung jawab. Sebuah fitnah lain yang keji. Saya yakin teman-teman bobotoh ini tidak ada yang berani berbuat seperti itu, lagi pula untuk apa? bunuh diri? Sebagian dari mereka bahkan belum selesai mencari teman-temannya  yang hilang, bahkan kabarnya sampai mencari ke gorong-gorong dan selokan di sekitar stadion Siliwangi!
Image
              Dua orang korban luka parah sewaktu dievakuasi ke PMI
Image
      Salah satu korban yang mengalami patah pergelangan tangan
Inikah yang namanya “kabeh dulur” itu? Semboyan hanya tinggal semboyan.  Penting untuk kita kaji bersama agar hal ini tidak terjadi kembali. Jangan mudah termakan provokasi, selalu cek dan ricek mengenai kebenaran suatu kabar dan jangan mau diadu domba, apalagi oleh sesama bobotoh!
“Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Al Baqarah: 217)
*Oleh bobotoh yang merindukan juara dan merindukan rasa aman dan nyaman di Stadion #PERSIBTillWeDie

sumber : http://bobotohteras.wordpress.com/2012/12/05/sabtu-kelabu-di-tribun-utara-fitnah-itu-lebih-kejam-dari-pembunuhan/

Senin, 08 Oktober 2012

Kalau harus menang terus mah atuh Persib juara dunia

Bagaimana Berusaha Menjadi Orang Sportif? Sementara sekarang Bobotoh menuntut Persib menang terus. “Kalau harus menang terus mah atuh Persib juara dunia”, kata Pak Ateng Wahyudi, mantan Ketua Umum Persib dan Walikota Bandung.

Adakah sejarah pertandingan sepakbola di Indonesia yang sangat bermutu tinggi? Pertandingan yang sekaligus menguras emosi penonton tetapi semua pihak yang terlibat tetap menjunjung tinggi sportifitas, sehingga tak terjadi kerusuhan?

Ada. Tetapi sangat langka. Dan yang langka itu adalah "Final Persib vs PSMS 1985". Saya yakin ini merupakan pertandingan sangat heroik dalam sejarah sepakbola Indonesia setelah partai berkelas dunia kesebelasan nasional Indonesia melawan Uni Soviet di Olimpiade Melbourne 1 Desember 1956, dimana Indonesia berhasil menahan Uni Soviet dengan 0-0. Kemudian pertandingan Pra Olimpiade Montreal tahun 1976, dimana kesebelasan nasional Indonesia harus tersingkir oleh Korea Utara lewat adu penalti. Mengapa dipilih pertandingan "Final Persib vs PSMS 1985"? Karena alasan sebagai berikut:

Pertama; Bagaimana Persib yang sudah ketinggalan 0-2 dari PSMS di babak pertama, dapat menyamakan kedudukan 2-2 melalui penalti Iwan Sunarya. Dan gol kelas dunia Ajat Sudrajat melalui sundulan kepala yang sangat indah dari sedikit saja dari luar kotak penalti PSMS, menyambut tendangan sudut Iwan Sunarya. Sundulan Ajat yang cukup jauh jaraknya untuk ukuran sebuah gol dengan kepala ini menerpa mistar bagian dalam PSMS Medan. Sehingga kiper hebat Ponirin Mekka sampai bengong tak bereaksi. Soetjipto "Gareng" Soentoro, bintang PSSI di era 1960-an dan awal 1970-an yang jadi komentator melalui RRI Jakarta ketika itu, menyebutnya sebagai gol spektakuler yang berkelas dunia. Mirip golnya Paul Mariner di English League, goal getter timnas Inggris tahun 1970an.

Kedua; Dari segi penonton benar-benar rekor dunia pula. Bayangkan stadion Senayan yang dalam keadaan normal berkapasitas 110.000 orang ketika itu (belum direnovasi seperti sekarang yang kapasitasnya menjadi 88.000 kursi) dipaksakan melampaui kapasitasnya. Baru dalam sejarah Senayan penonton dibolehkan nonton sampai luber ke pinggir lapangan, tempat biasanya para anak gawang memungut bola out. Menurut buku Asian Football Confederation (AFC) terbitan 1987, pertandingan ditonton oleh 150.000 orang yang merupakan pertandingan terbesar dalam sejarah pertandingan amatir di dunia (waktu itu masih kejuaraan Perserikatan, bukan Liga Super Indonesia seperti sekarang ini).

Ketiga; Meskipun penontonnya demikian banyak, kedua suporter tak saling bentrok sepanjang pertandingan berlangsung. Dan ternyata para suporter Persib khususnya tetap sportif menerima kekalahan dari PSMS untuk kedua kalinya pada final melalui adu penalti setelah pertandingan diperpanjang 2x15 menit skor tetap 2-2. Ya Persib kalah untuk kedua kalinya karena tahun 1983 Persib kalah juga dari PSMS melalui adu penalti setelah perpanjangan waktu. Pasca pertandingan tak terjadi kerusuhan sedikit pun. Padahal kerusuhan menjadi kejadian biasa belakangan ini bahkan eksesnya merembet sampai ke luar lapangan sehingga menjadi liar dan memakan korban jiwa dan harta benda. Bobotoh Persib pulang ke Jawa Barat (Banten masih masuk Jawa Barat) dan juga bobotoh yang tinggal di Jabotabek, dengan hati sangat sedih. Tetapi mereka tetap lapang dada. Mengapa? Karena Ajat Sudrajat dan kawan-kawan kalah sangat terhormat setelah berjuang sampai keringat terakhir tak menetes lagi. Atau dalam kata-kata mantan kapten tim nasional Ronny Patinasarani "Persib menang teknik dalam pertandingan final ini tetapi kalah mental dibanding PSMS". Luar biasa.

Keempat; Pasca pertandingan Persib-PSMS ini perseteruan di lapangan berlanjut ke persahabatan di luar lapangan. Pemain-pemain Persib diundang untuk memperkuat PSMS memenuhi undangan Singapura untuk turnamen Piala Merlion. Maka Ajat Sudrajat, Kosasih, Robby Darwis, Sukowiyono dan Iwan Sunarya beberapa minggu mencicipi latihan bersama Ponirin dan kapten Sunardi A dkk di stadion Teladan, Medan. Penonton Medan mengelu-ngelukan Ajat Sudrajat sebagai "Soetjipto Soentoro Baru".

Pertandingan ini sangat sarat dengan pelajaran berharga bagaimana sebuah sportifitas sebaiknya dikembangkan secara baik dan dewasa; penuh kekeluargaan seperti ciri budaya Bangsa Indonesia ketika itu. Sekarang di Bandung; banyak bobotoh Persib sudah juga anarkis meniru “koleganya” Bonek Persebaya Surabaya dan Jakmania Persija. Kalau dulu teriakan bobotoh “Persib Butut... Persib Butut” merupakan kritik mujarab membalikkan keadaan di lapangan menjadi Persib yang hebring lagi. Maka sekarang sudah berubah; “Persib Butut, Bobotoh Juga Butut”. Bobotoh menuntut Persib menang terus. “Kalau harus menang terus mah atuh Persib juara dunia”, kata Pak Ateng Wahyudi, mantan Ketua Umum Persib dan Walikota Bandung. Dunia memang sudah berubah, sehingga perilaku suporter juga berubah? Perlu penelitian para ahli psikologi massa dari Unpad atau UI barangkali.

SEMENTARA itu. Bumbu lain setelah pertandingan Persib vs PSMS 1985 ini, Ajat "dibawa kabur" oleh seorang selebritis ke sebuah hotel berbintang. Konon katanya mau "dikasih hadiah". Entah hadiah kecupan mesra atau apa. Yang benar menurut pengakuan Ajat kepada saya ketika menulis biografinya (Muhamad Kusnaeni dan Cardiyan HIS, "Intinya Pemain Inti untuk PSSI", Penerbit Gemadinamika Mediatama, Jakarta 1987):

"Ah, Kang, saya mah cuma nonton film Kungfu di bioskop hotel Kartika Chandra bersama Hetty Kus Endang". Hetty yang masih jomlo ketika itu; malah "nyengir" ketika dicegat wartawan; "Ah enggak, saya mah ngan ngajak Ajat nonton pelem supaya melupakan kekalahan maen bola. Paling rencana kedepan saya dengan Ajat mau berduet nyanyi untuk rekaman tahun ini .....".

Hidup Persib.

Meunang maok ti blog ITB, artikel iyeu hasil karya kang Cardiyan HIS.
sumber : https://www.facebook.com/groups/479432688752963/permalink/508859359143629/

Rabu, 12 September 2012

Bobotoh: Sebuah Nama, Sebuah Konsep


Di bangku cadangan, Robbie Gaspar mencoba memejamkan mata. Di sekelilingnya, pada bangku-bangku stadion Siliwangi, tidak ada ribuan bobotoh. Laga Persib vs Persipura [29/4] memang digelar tanpa penonton. Gaspar sengaja memejamkan mata untuk menghayati suara bobotoh bernyanyi, menyalakan mercon dan kembang api sepanjang pertandingan di sekeliling Stadion Siliwangi.
“One of the most surreal experiences i have experienced: No fans in the stadium but we can hear you,” kata Gaspar, gelandang berpaspor Australia yang musim ini memperkuat Persib.
Kendati laga Persib vs Persipura digelar tanpa penonton, toh bobotoh tetap berdatangan. Satu jam sebelum pertandingan, seribuan bobotoh konvoi jalan kaki keliling Siliwangi sembari. Saya berjumpa dengan 12 orang bobotoh yang berangkat dari Jogjakarta pada malam sebelum pertandingan.
Bobotoh dan Persib memang tak mungkin dipisahkan. Jauh sebelum fans club bertebaran dan menjadi tren di seluruh Indonesia, bobotoh sudah lebih dulu eksis. Majalah “Olah Raga”, media massa khusus olahraga yang diterbitkan oleh Otto Iskandar Dinata pada 1937, sudah memberitakan keberadaan bobotoh yang hadir mendukung Persib Bandung yang bermain di daerah Tegalega dan Ciroyom.
Ami Raksanagara, dalam esai menarik “Kuring, Apa Jeung Persib” [Saya, Ayah dan Persib] di Majalah Mangle edisi 2366, mengisahkan pengalaman masa kecilnya menonton Persib bersama sang ayah dan adiknya pada tahun 1950-an. Ami Raksanagara, penyair Sunda ini, menceritakan antusiasme bobotoh pada Persib tak berkurang dari waktu ke waktu, hanya cara mengekspresikannya saja yang dari waktu ke waktu terus berubah.
Lain lagi kenangan Usep Romli, sastrawan Sunda kelahiran Garut, yang juga rutin menonton Persib pada dekade 1960-an. Usep menulis: “Jika Persib me¬nang, cukup bersorak-sorai di dalam stadion. Dilanjutkan pada waktu pulang dengan cara mengibar-ngibarkan sapu tangan atau koran. Jika Persib kalah, cukup dengan membungkam. Stadion sepi bagai ‘gaang katincak’ [serangga terinjak].”
Dalam tulisan mengenang masa remajanya menonton Persib, Usep harus berangkat dari Garut sejak pukul 11 siang. Numpang truk pasir atau sayuran. Turun daerah Cicadas lalu jalan kaki ke arah Sidolig [stadion lama Persib]. Pulangnya ke Limbangan Garut keesokan harinya, naik kereta api dari Kiaracondong. Turun di Cibatu. Jalan kaki ke Limbangan, atau (kalau kebetulan ada) ikut truk pasir hingga daerah Sasakbeusi.
Pada era 1980an, masa keemasan Persib, Siliwangi selalu penuh dengan penonton. Persib saat itu dipenuhi bintang-bintang lokal dari Sukowiyono, Adeng Hudaya sampai bintang-bintang muda seperti Adjat Sudrajat. Pada salah laga di musim 1985, penonton yang membludak sampai tepi lapangan menghambat jalannya pertandingan. Bobotoh baru bisa tenang saat Gubernur Jawa Barat, Solihin GP, datang ke Siliwangi dengan menggunakan helikopter yang mendarat di Siliwangi.
Jika Persib bertanding di Jakarta, khususnya pada putaran final Divisi Utama, bobotoh selalu membirukan Senayan. Rombongan bobotoh terbanyak berangkat bersama-sama dari Sidolig. Atmosfir Bandung pun penuh dengan pembicaraan tentang Persib. Jelang laga final Perserikatan 1985 nan legendaris yang mempertemukan Persib vs PSMS, mesjid-mesjid di Bandung menyerukan kepada warga sekitar untuk mendoakan Persib.
Laga final Divisi Utama Perserikatan 1985 antara Persib dan PSMS Medan memang akan dikenang sebagai salah satu laga hebat dalam sejarah sepak bola Indonesia. Senayan disesaki lebih dari 120 ribu penonton, mayoritas bobotoh. Laga itu dicatat sebagai rekor dunia partai sepakbola amatir paling banyak ditonton menurut buku resmi AFC terbitan tahun 1987. Laga harus terhenti beberapa kali karena penonton merengsek sampai ke dalam lapangan.
Persib kalah secara tragis melalui adu penalti, tapi tidak ada kerusakan dan kerusuhan yang berdarah antara dua kelompok suporter. Ada beberapa insiden kecil tentu saja, tapi tak bereskalasi besar. “Saya cuma lihat ada bobotoh berantem dengan orang Medan dekat patung besar Senayan karena diledek supporter Medan, tapi ya cuma itu aja,” kenang Thanon Aria, bobotoh yang saat itu masih duduk di bangku SD.
Thanon bercerita bagaimana bobotoh menyerbu Senayan dari Bandung dengan bus, kendaraan pribadi sampai motor. Mereka berangkat dengan penuh semangat. Sepanjang perjalanan, satu sama lain saling berlomba menyalakan klakson. Malamnya, setelah pulang dari stadion menyaksikan kekalahan Persib, bobotoh kembali berduyun-duyun pulang, kali ini dengan diam, sunyi. Seperti gaang katincak, meminjam istilahnya Usep Romli.
Para pemain Persib akan malu bukan main jika Persib kalah. Indra Tohir, pelatih terakhir yang mempersembahkan gelar juara bagi Persib, mengaku betapa tidak nyamannya jika Persib kalah. “Orang-orang yang lewat di depan rumah kadang sengaja bicara keras soal kekalahan Persib. Anak saya gak akan mau masuk sekolah karena teman-temannya pasti ngeledek,” kata Indra.
Hal sama juga diceritakan Max Timisela, bontot dari kuartet keluarga Timisela yang menjadi legenda Persib. Max mengaku tak berani ke luar rumah jika Persib kalah. “Telinga pasti panas. Baru jalan ke luar gang orang-orang sudah sibuk bertanya tentang kekalahan Persib,” kenang Max, gelandang hebat yang sempat diminati Werder Bremen ini.
Tapi jangan diceritakan saat Persib berhasil menjuarai Divisi Utama Perserikatan 1986 dengan mengalahkan Perseman Manokwari. Gelar pertama sejak 1961 itu membuat atmosfir Bandung meledak dalam kegembiraan luar biasa, sebuah kegembiraan yang mencerminkan dengan sempurna hubungan antara sepak bola dengan sebuah kota, sebuah masyarakat, bahkan sebuah kebudayaan.
Sepanjang jalan dari Jakarta sampai Bandung via jalur Puncak penuh dengan konvoi para bobotoh. Keesokan harinya, Bandung seperti berwarna biru. Koran-koran yang dijual di Bandung ludes selepas Subuh. Rekor oplah penjualan Pikiran Rakyat juga karena peristiwa Persib menjadi juara Perserikatan 1990 mengalahkan Persebaya di partai final. Bandung sempurna merayakan pesta saat seluruh anggota tim diarak keliling kota di atas mobil bak terbuka.
Hal sama selalu terulang tiap kali Persib menjadi juaradi tahun-tahun berikutnya: 1994 (gelar juara terakhir era Perserikatan) dan 1995 (gelar juara pertama di era Liga Indonesia).

****
Pada 17 Juli 1993, tahun-tahun terakhir era Perserikatan, sejumlah bobotoh yang biasa menempati tribun selatan Siliwangi sepakat mendirikan Viking Persib Club, fans club Persib pertama di Indonesia. Adapun pelopor dari pendiriannya antara lain Ayi Beutik, Heru Joko, Dodi Pesa Rokhdian, Hendra Bule, Aris Primat dan beberapa nama lainnya. Nama Viking diambil dari nama suku bangsa yang mendiami kawasan skandinavia di Eropa Utara yang dikenal berani, gigih, solid, pantang menyerah dan gemar menjelajah.
Pendirian Viking ini bukan hanya menandai fase baru bobotoh, tapi juga menandai mode baru dalam dunia suporter di Indonesia. Seiring munculnya Liga Indonesia, dunia sepak bola Indonesia menjadi lebih menarik dan semarak. Klub-klub baru berkesempatan tampil di kasta tertinggi sepak bola tanah air. Fenomena ini ditindaklanjuti oleh suporter-suporter klub lain yang juga mendirikan fans club masing-masing.
Atmosfir stadion lebih menarik dengan chant-chant, atribut, serta alat-alat musik yang sengaja dibawa. Di era ini pula perseteruan suporter menjadi jauh lebih berbahaya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Angka kerusuhan suporter meningkat, kadang kala bahkan terjadi saat tidak ada pertandingan. Jika di era perserikatan bobotoh berseteru dengan supporter Persebaya, PSM dan terutama PSM, rivalitas di era fans club berubah petanya. Sejak era 2000an, rivalitas antara bobotoh Persib dan suporter Persija mulai menghiasi pemberitaan sepak bola di Indonesia.
Di Bandung sendiri, menyusul pendirian Viking, bermunculan beberapa kelompok suporter (firm) baru, misalnya Bomber (Bobotoh Maung Bandung Bersatu). Beberapa tahun terakhir, bermunculan kelompok-kelompok kecil yang mencerminkan sub-kultur khas perkotaan, di mana sepak bola beririsan dengan kebudayaan popular lainnya, terutama musik. Di Eropa, fenomena ini sering disebut sebagai “casual”. Di Bandung bermunculan beberapa firm bergaya casual, seperti Flower City Casual [FCC], TS 1, Second Squad sampai Viking Frontline.
Kendati demikian, bobotoh sebagai sebuah sub-kultur tidak pernah hilang dan memang tidak akan pernah tergantikan. Salah seorang eksponen FCC mengaku, kendati secara khas menggunakan atribut, chant dan gaya yang berbeda, mereka tetap mengakui bobotoh sebagai identitas pokok mereka.
Dalam bahasa Sunda, “bobotoh” secara sederhana diartikan sebagai “pendukung”, ‘suporter”. Menurut Kamus Umum Basa Sunda terbitan Lembaga Basa jeung Sastra Sunda, “bobotoh” berarti “purah ngagedean hate atawa ngahudang sumanget ka nu rek atawa keur ngadu jajaten” (berperan membesarkan hati atau membangun semangat bagi mereka yang akan atau sedang berlomba).
Di tengah makin merajelalanya pengaruh sepak bola Eropa dalam dunia suporter Indonesia, para suporter Persib tahu benar “bobotoh” bukan sekadar nama, melainkan juga sebuah konsep.

http://www.mengbal.com/2012/09/bobotoh-sebuah-nama-sebuah-konsep/

My Contact

 
http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRPpJ9KVfAvLx6GcQ3SHNnuiHA8lKDJDMyhlD6nj1XRdg8HWzQd_g 
https://twitter.com/AnjarBoediman or follow @AnjarBoediman

About Me


Saya Anjar Budiman Wahyu. Lahir di Bandung tanggal 29 Agustus 1995. Saya asli orang Batujajar, dan hingga sekarang pun masih tinggal di Batujajar. Saya adalah anak pertama dari satu bersaudara. Memiliki keluarga yang sangat ramah, memiliki saling keterikatan yang kuat, dan pastinya saling menyayangi
Saya dilahirkan di dunia ini untuk Persib. Apapun akan saya lakukan untuk Persib. Saya tidak hanya sekedar suka atau cinta terhadap Persib, tapi Persib itu telah mendarah daging dengan kehidupan saya. Orang-orang bilang "ngapain ngebela-belain Persib, emang Persib ngasih apa buat kamu ??" dan saya bakalan jawab, "Persib nu aing, saya akan lakuin apa saja buat Persib. Persib bukan hanya sekedar tim sepakbola, tapi itu adalah harga diri dan jati diri urang sunda." 
Selain itu sebagai anak remaja saya juga menyukai musik, dan musik itu tidak tergantung dengan alirannya. Semua saya suka, terlebih itu adalah musik dari Indonesia. Musik negara kita sendiri yang harus kita apresiasi, dan tidak selalu yang dari luar itu bagus. Karena kita pun punya, karena di Indonesia pun ada, bahkan produk Indonesia itu menurut saya kualitasnya lebih baik dan mudah untuk kita pahami. 
Pesan saya cintai dan lestarikanlah yang ada di lingkungan kita, jangan ketika ada yang mencurinya kita baru sibuk berteriak maling. Oleh karena itu lestarikanlah budaya Indonesia.